Tata Cara Shalat Isyroq . “Barangsiapa
yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain:
dia menetap di mesjid[1] – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari
terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan
(pahala) seperti pahala haji dan umrah“
Shalat
Isyroq adalah termasuk sholat sunnah yang tidak disunahkan untuk
berjamaah, waktu pelaksanaanya ketika matahari pada posisi ketinggian
3,5 dziro' (168 cm menurut mayoritas ulama'). atau setelah habis waktu
Subuh dan mulai terbitnya matahari dan agak naik setinggi satu tombak,
yaitu sekitar 12-15 menit setelah matahari terbit
Tata Cara Shalat Isyroq
Sholat ini dilaksanakan sebanyak 2 roka'at dengan niat melakukan Sholat Isyroq.
أُصَلِّيْ سُنَّةَ اْلِإشْرَاقِ رَكْعَتَيْنِ لِلهِ تَعَالَى . الله أكْبَرُ
"Aku berniat melakukan Sholat Sunah Isyroq 2 Raka'at karena Allah Ta'ala".
Raka'at pertama setelah Al-Fatihah mambaca surat Ad-Dhuha dan raka'at kedua setelah Al-Fatihah mambaca surat Asy-Syarh Untuk tata cara sholat isyroq sama dengan shalat sunah lain atau bisa di lihat di Tata Cara Shalat
Setelah selesai sholat membaca do'a :
اَللَّهُمَّ يَا نُوْرَ النُّوْرِ بِالطُّوْرِ وَكِتَابٍ
مَسْطُوْرٍ فِيْ رِقٍّ مَنْشُوْرٍ وَالبَيْتِ المَعْمُوْرِ أَسْأَلُكَ أَنْ
تَرْزُقَنِيْ نُوْرًا أَسْتَهْدِيْ بِهِ إِلَيْكَ وَأَدُلُّ بِهِ عَلَيْكَ
وَيَصْحَبُنِيْ فِيْ حَيَاتِيْ وَبَعْدَ الْاِنْتِقَالِ مِنْ ظَلاَم
مِشْكَاتِيْ وَأَسْأَلُكَ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَنَفْسِ مَا سِوَاهَا
أَنْ تَجْعَلَ شَمْسَ مَعْرِفَتِكَ مُشْرِقَةً بِيْ لَا يَحْجُبُهَا غَيْمُ
الْأَوْهَامِ وَلَا يَعْتَرِيْهَا كُسُوْفُ قَمَرِ الوَاحِدِيَّةِ عِنْدَ
التَّمَامِ بَلْ أَدِمْ لَهَا الْإِشْرَاقَ وَالظُهُوْرَ عَلَى مَمَرِّ
الْأَيَّامِ وَالدُّهُوْرِ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
خَاتِمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ اللهم اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَلِإِخْوَاِننَا فِي
اللهِ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا أَجْمَعِيْنَ
"Ya Allah, Wahai Cahayanya Cahaya, dengan wasilah bukit Thur
dan Kitab yang ditulis pada lembaran yang terbuka, dan dengan wasilah
Baitul Ma'mur, aku meminta kepadaMu agar Engkau memberiku cahaya, yang
dengannya aku dapat mencari petunjukMu, dan dengannya aku menunjukkan
tentangMu. Dan yang terus-menerus mengiringiku dalam kehidupanku dan
setelah berpindah (ke alam lain; bangkit dari kubur) dari kegelapan
liang (kubur) ku. Dan aku meminta padaMu dengan wasilah matahari beserta
cahayanya di pagi hari, dan kemulyaan yang wujud pada selain matahari,
agar Engkau menjadikan matahari ma'rifat padaMu (yang ada padaku)
bersinar menerangiku, tidak tertutup oleh mendung-mendung keraguan,
tidak pula terlintasi gerhana pada rembulan kemaha-esaan dikala purnama.
Tapi jadikanlah padanya selalu bersinar dan selalu tampak, seiring
berjalannya hari dan tahun. Dan berikanlah rahmat ta'dzim Wahai Allah
kepada junjungan kami Muhammad, sang pamungkas para nabi dan Rasul. Dan
segala Puji hanya milik Allah tuhan penguasa alam. Ya Allah ampunilah
kami, kedua Orang tua kami serta kepada saudara-saudara kami seagama
seluruhnya, baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal".
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ
حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ
كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »
“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk –
dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid[1] – untuk berzikir kepada
Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia
akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, yang sempurna “[2].
Hadits
yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan duduk menetap di tempat
shalat, setelah shalat shubuh berjamaah, untuk berzikir kepada Allah
sampai matahari terbit, kemudian melakukan shalat dua rakaat[3]. Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
* Shalat dua rakaat ini diistilahkan oleh para ulama[4] dengan shalat isyraq (terbitnya matahari), yang waktunya di awal waktu shalat dhuha[5].
*
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… sampai matahari terbit“,
artinya: sampai matahari terbit dan agak naik setinggi satu tombak[6],
yaitu sekitar 12-15 menit setelah matahari terbit[7], karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ketika matahari terbit,
terbenam dan ketika lurus di tengah-tengah langit[8].
* Keutamaan
dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri, dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu:
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai melakukan
shalat shubuh, beliau duduk (berzikir) di tempat beliau shalat sampai
matahari terbit dan meninggi”[9].
* Keutamaan dalam hadits ini
adalah bagi orang yang berzikir kepada Allah di mesjid tempat dia shalat
sampai matahari terbit, dan tidak berbicara atau melakukan hal-hal yang
tidak termasuk zikir, kecuali kalau wudhunya batal, maka dia boleh
keluar mesjid untuk berwudhu dan segera kembali ke mesjid[10].
*
Maksud “berzikir kepada Allah” dalam hadits ini adalah umum, termasuk
membaca al-Qur’an, membaca zikir di waktu pagi, maupun zikir-zikir lain
yang disyariatkan.
* Pengulangan kata “sempurna” dalam hadits ini
adalah sebagai penguat dan penegas, dan bukan berarti mendapat tiga
kali pahala haji dan umrah[11].
* Makna “mendapatkan (pahala)
seperti pahala haji dan umrah” adalah hanya dalam pahala dan balasan,
dan bukan berarti orang yang telah melakukannya tidak wajib lagi untuk
melaksanakan ibadah haji dan umrah jika dia mampu.
[1] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (no. 7741), dinyatakan baik isnadnya oleh al-Mundziri.
[2]
HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh
al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403).
[3] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “at-Targhib wat tarhib” (1/111-shahih at-targhib).
[4] Bahkan penamaan ini dari sahabat Ibnu Abbas t, lihat kitab “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).
[5] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).
[6] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158).
[7] Lihat keterangan syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam “asy-Syarhul mumti’” (2/61).
[8] Dalam HR Muslim (no. 831).
[9] HR Muslim (no.670) dan at-Tirmidzi (no.585).
[10] Demikian keterangan yang kami pernah dengar dari salah seorang syaikh di kota Madinah.
[11] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158). |
1 komentar:
Assalamu'alaikum, artikel ini sangat membantu saya dalam menambah pengetahuan bagaimana shalat yang benar, salam sukses!
Posting Komentar