Pendahuluan
“Sejarah tertulis berisi rekaman yang sangat sporadis dan tidak
lengkap”, demikian Gordon Childe menulis, “tentang apa yang telah
manusia lakukan di pelbagai belahan dunia selama lima ribu tahun
terakhir”. Idealnya sejarah adalah rekaman tentang semua rentetan
peristiwa yang telah terjadi, yang berfungsi sebagai pengungkap segala
sesuatu sesuai dengan fakta yang ada tanpa distorsi sedikitpun, tetapi
pada kenyataannya ia hanya mengungkap sebagian rentetan peristiwa
tersebut dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari rekayasa yang biasanya
dilakukan oleh penguasa politik. Meskipun fenomena semacam ini pernah
terjadi, tetapi hal ini tidak bisa dianggap sebagai persoalan remeh
bahkan harus diluruskan, karena menyangkut dan memengaruhi kehidupan
generasi selanjutnya sebagai aktor sejarah berikutnya. Apalagi sejarah
yang dimaksud adalah sejarah tentang ilmu pengetahuan yang merupakan
faktor penting dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, perlu adanya
usaha yang sungguh-sungguh serta tanggung jawab moral dan akademik dalam
pemaparan sejarah.
Sebelum memaparkan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, penulis
harus mengungkap sekilas tentang perbedaan antara pengetahuan dan ilmu
agar tidak terjebak pada kesalahpahaman mengenai keduanya, sehingga
pembaca bisa memahami dengan mudah dan benar apa yang dimaksud dengan
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dalam makalah ini. Ilmu adalah
bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur
serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sementara itu,
pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik
mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah
informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan
bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme
tertentu. Jadi ilmu lebih khusus daripada pengetahuan, tetapi tidak
berarti semua ilmu adalah pengetahuan.
Uraian singkat di atas menggiring kita pada kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan ilmu pengetahuan di sini adalah ilmu bukan pengetahuan.
Ilmu beraneka-ragam. Maskoeri Jasin membagi ilmu pengetahuan ke tiga
kategori besar. Pertama, Ilmu Pengetahuan Sosial yang meliputi
psikologi, pendidikan, antropologi, etnologi, sejarah, ekonomi, dan
sosiologi. Kedua, Ilmu Pengetahuan Alam yang meliputi fisika, kimia, dan
biologi (botani, zoologi, morfologi, anatomi, fisiologi, sitologi,
histologi, dan palaentologi). Ketiga, Ilmu Pengetahuan Bumi dan
Antariksa yang meliputi geologi (petrologi, vulkanologi, dan
mineralogi), astronomi, dan geografi (fisiografi dan geografi biologi).
Karena luasnya cakupan ilmu, penulis hanya fokus pada sejarah
perkembangan sebagian ilmu dari masa ke masa yang terekam oleh
literatur-literatur sejarah yang ada dan menyebutkan sebagian tokoh di
balik penemuan teori ilmu dan pengembangannya.
Ilmu Pengetahuan Zaman Purba
Secara garis besar, Amsal Bakhtiar membagi periodeisasi sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani
kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman
kontemporer. Periodeisasi ini mengandung tiga kemungkinan. Pertama,
menafikan adanya pengetahuan yang tersistem sebelum zaman Yunani kuno.
Kedua, tidak adanya data historis tentang adanya ilmu sebelum zaman
Yunani kuno yang sampai pada kita. Ketiga, Bakhtiar sengaja tidak
mengungkapnya dalam bukunya. Jika kemungkinan pertama yang terjadi, maka
informasi dari teks-teks agama tentang nama-nama yang Adam ketahui,
misalnya, tidak termasuk ilmu tetapi hanya pengetahuan belaka. Jika
kemungkinan kedua yang benar, maka bukan berarti pengetahuan yang
tersistem hanya ditemukan dan dimulai pada zaman Yunani kuno, tetapi ia
sudah ada sebelumnya hanya saja informasinya tidak sampai pada kita.
Jika kemungkinan ketiga yang berlaku, maka penulis perlu mengungkapnya
meski hanya sekilas karena keterbatasan referensi yang ada pada penulis.
Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu dapat disusur sampai pada
permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa manusia purba telah
menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan
mereka untuk mengerti keadaan dunia. Masa manusia purba dikenal juga
dengan masa pra-sejarah. Menurut Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, masa
sejarah dimulai kurang lebih 15.000 sampai 600 tahun Sebelum Masehi.
Pada masa ini pengetahuan manusia berkembang lebih maju. Mereka telah
mengenal membaca, menulis, dan berhitung. Kebudayaan mereka pun mulai
berkembang di berbagai tempat tertentu, yaitu Mesir di Afrika, Sumeria,
Babilonia, Niniveh, dan Tiongkok di Asia, Maya dan Inca di Amerika
Tengah. Mereka sudah bisa menghitung dan mengenal angka. Meski agak
berbeda dengan pendapat tersebut, Muhammad Husain Haekal (1888-1956)
berpendapat lebih spesifik bahwa sumber peradaban sejak lebih dari enam
ribu tahun yang lalu (berarti sekitar 4000 SM) adalah Mesir. Zaman
sebelum itu dimasukkan orang ke dalam kategori pra-sejarah. Oleh karena
itu, sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai permulaan zaman pra-sejarah
dan zaman sejarah, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu lahir seiring
dengan adanya manusia di muka bumi hanya saja penamaan ilmu-ilmu itu
biasanya muncul belakangan. Penekanan terhadap kegunaan dan aplikasi
cenderung lebih diutamakan daripada penamaannya. Teori ini berlaku
secara umum terhadap beberapa – untuk tidak dikatakan semua– disiplin
ilmu dari generasi ke generasi. Berbekal otak, pengalaman, dan
pengamatan terhadap gejala-gejala alam, manusia purba sudah barang tentu
memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat membantu mereka mengarungi
kehidupan. Seperangkat pengetahuan tersebut semakin lama akan semakin
tersusun rapi karena inilah karakteristik dasar ilmu. Jika kita
menafikan adanya ilmu tertentu yang mereka miliki, maka kita akan sulit
menjawab pertanyaan: mungkinkah mereka bisa bertahan hidup
bertahun-tahun tanpa bekal apapun?
Selanjutnya Mouly menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai berikut: Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak seinsentif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan saja menyumbang perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif pengalaman-pengalaman manusia.
Selanjutnya Mouly menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai berikut: Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak seinsentif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan saja menyumbang perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif pengalaman-pengalaman manusia.
Peradaban Mesir kuno, misalnya, mewariskan peninggalan-peninggalan
bermutu tinggi seperti piramida, kuil, dan sistem penatanan kota.
Peninggalan-peninggalan ini tidak mungkin ada tanpa adanya ilmu yang
mereka miliki. Proses pembangunan piramida yang menjulang tinggi dan
tersusun dari batu-batu besar pilihan tak bisa lepas dari matematika dan
arsitektur. Begitu pula dengan proses pembangunan kuil megah mereka.
Sementara itu, sistem penataan kota membutuhkan arsitektur dan
administrasi pemerintahan. Dengan kata lain, peninggalan-peninggalan
bersejarah tersebut menunjukkan adanya ilmu-ilmu tertentu yang mereka
miliki sehingga mereka bisa mewujudkan impian mereka menjadi kenyataan.
Menurut Haekal, Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa
peradaban pertama ke Yunani atau Rumawi.
Sementara itu, menurut Betrand Russell, pada masa Babilonia lahir
beberapa hal yang tergolong ilmu pengetahuan: pembagian hari menjadi dua
puluh empat jam, lingkaran menjadi 360 derajat, penemuan siklus gerhana
yang memungkinkan terjadinya gerhana bulan bisa diramal dengan tepat
dan gerhana matahari dengan beberapa perkiraan. Pengetahuan bangsa
Babilonia ini sampai ke tangan Thales , filosof Yunani.
Ilmu Pengetahuan Zaman Yunani Kuno
Yunani kuno sangat identik dengan filsafat. Ketika kata Yunani
disebutkan, maka yang terbesit di pikiran para peminat kajian keilmuan
bisa dipastikan adalah filsafat. Padahal filsafat dalam pengertian yang
sederhana sudah ada jauh sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan
mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat
berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi
setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang
pengaruhnya terasa hingga sekarang. Sehingga wajar saja bila
generasi-generasi setelahnya merasa berhutang budi padanya, termasuk
juga umat Islam pada abad pertengahan masehi bahkan hingga sekarang.
Tanpa mengkaji dan mengembangkan warisan filsafat Yunani rasanya sulit
bagi umat Islam kala itu merengkuh zaman keemasannya. Begitu juga orang
Barat tanpa mengkaji pengembangan filsafat Yunani yang dikembangkan oleh
umat Islam rasanya sulit bagi mereka membangun kembali peradaban mereka
yang pernah mengalami masa-masa kegelapan menjadi sangat maju dan
mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya seperti sekarang ini.
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam
sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola
pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Dari proses inilah
kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat yang akhirnya kita nikmati
dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani
merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah
titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus
mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal-usul alam adalah
Thales (624-546 SM), setelah itu Anaximandros (610-540 SM), Heraklitos
(540-480 SM), Parmenides (515-440 SM), dan Phytagoras (580-500). Thales,
yang dijuluki bapak filsafat, berpendapat bahwa asal alam adalah air.
Menurut Anaximandros substansi pertama itu bersifat kekal, tidak
terbatas, dan meliputi segalanya yang dinamakan apeiron, bukan air atau
tanah. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah.
Baginya yang mendasar dalam alam semesta adalah bukan bahannya,
melainkan aktor dan penyebabnya yaitu api. Bertolak belakang dengan
Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan
yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berpendapat
bahwa bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran.
Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak
terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama
ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai
hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika. Jadi setiap
filosof mempunyai pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta.
Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justeru
merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka
mengilhami generasi setelahnya.
Setelah mereka kemudian muncul beberapa filosof Sofis sebagai reaksi
terhadap ketidakpuasan mereka terhadap jawaban dari para filosof alam
dan mengalihkan penelitian mereka dari alam ke manusia. Bagi mereka,
manusia adalah ukuran kebenaran sebagaimana diungkapkan oleh Protagoras
(481-411 SM), tokoh utama mereka. Pandangan ini merupakan cikal bakal
humanisme. Menurutnya, kebenaran bersifat subyektif dan relatif.
Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika,
maupun agama. Bahkan dia tidak menganggap teori matematika mempunyai
kebenaran absolut. Selain Protagoras ada Gorgias (483-375 SM).
Menurutnya, penginderaan tidak dapat dipercaya. Ia adalah sumber ilusi.
Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang alam semesta karena akal
kita telah diperdaya oleh dilema subyektifitas. Pengaruh positif gerakan
kaum sofis cukup terasa karena mereka membangkitkan semangat
berfilsafat. Mereka tidak memberikan jawaban final tentang etika, agama,
dan metafisika.
Pandangan para filosof Sofis tersebut disanggah oleh para filosof
setelahnya seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM), dan
Aristoteles (384-322 SM). Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang
bergantung kepada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran
obyektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan
dijalankan melalui percakapan-percakapan. Menurutnya, kebenaran
universal dapat ditemukan. Bagi Plato, esensi mempunyai realitas yang
ada di alam idea. Kebenaran umum ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada
di alam idea. Filsafat Yunani klasik mengalami puncaknya di tangan
Aristoteles. Dia adalah filosof yang pertama kali membagi filsafat pada
hal yang teoritis (logika, metafisika, dan fisika) dan praktis (etika,
ekonomi, dan politik). Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman bagi
klasifikasi ilmu di kemudian hari. Dia dianggap sebagai bapak ilmu
karena mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
Karena demikian meresapnya serta lamanya pengaruh ajaran-ajaran Plato
dan Aristoteles, A.N. Whitehead memberikan catatan bahwa segenap
filsafat sesudah masa hidup keduanya sesungguhnya merupakan
usulan-usulan belaka terhadap ajaran-ajaran mereka. Pendapat Whitehead
tidak seluruhnya benar karena umat Islam, misalnya, selain mengembangkan
filsafat mereka, mereka juga melakukan inovasi di beberapa persoalan
filsafat Yunani sehingga memiliki karakteristik islami.
Ilmu Pengetahuan Zaman Islam Klasik
Ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fiqih, usul fiqih, dan
teologi sudah berkembang sejak masa-masa awal Islam hingga sekarang.
Khusus dalam bidang teologi, Muktazilah dianggap sebagai pembawa
pemikiran-pemikiran rasional. Menurut Harun Nasution, pemikiran rasional
berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Pemikiran ini
dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu
dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani
yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman
Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia
(Syiria), dan Bactra (Persia).
W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria,
dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat
sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian
dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada sekitar tahun 900
M– ke Baghdad. Kolese Kristen Nestorian di Jundisyapur, pusat belajar
yang paling penting, melahirkan dokter-dokter istana Hārūn al-Rashīd dan
penggantinya sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak semacam
ini, para khalifah dan para pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa
yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan
agar menerjemahkan sejumlah buku penting dapat diterjemahkan. Beberapa
terjemahan sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Penerjemahan
secara serius baru dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mūn (813-833 M).
Dia mendirikan Bayt al-Ḥikmah, sebuah lembaga khusus penerjemahan.
Sejak saat itu dan seterusnya, terdapat banjir penerjemahan
besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad kesembilan
dan sebagian besar abad kesepuluh.
Buku-buku matematika dan astronomi adalah buku-buku yang pertama kali
diterjemahkan. Al-Khawārizmī (Algorismus atau Alghoarismus) merupakan
tokoh penting dalam bidang matematika dan astronomi. Istilah teknis
algorisme diambil dari namanya. Dia memberi landasan untuk aljabar.
Istilah “algebra” diambil dari judul karyanya. Karya-karyanya adalah
rintisan pertama dalam bidang aritmatika yang menggunakan cara penulisan
desimal seperti yang ada dewasa ini, yakni angka-angka Arab.
Al-Khawārizmī dan para penerusnya menghasilkan metode-metode untuk
menjalankan operasi-operasi matematika yang secara aritmatis mengandung
berbagai kerumitan, misalnya mendapatkan akar kuadrat dari satu angka.
Di antara ahli matematika yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin adalah al-Nayrīzī atau Anaritius (w. 922 M) dan Ibn
al-Haytham atau Alhazen (w. 1039 M). Ibn al-Haytham menentang teori
Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan bahwa sinar visual memancar dari
mata ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan kebalikannya bahwa
cahayalah yang memancar dari obyek ke mata. Di bidang astronomi,
al-Battānī (Albategnius) menghasilkan table-tabel astronomi yang luar
biasa akuratnya pada sekitar tahun 900 M. Ketepatan
observasi-observasinya tentang gerhana telah digunakan untuk
tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun 1749 M. Selain al-Battānī, ada
Jābir ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Biṭrūjī (Alpetragius). Jābir ibn Aflaḥ
dikenal karena karyanya di bidang trigonometri sperik. Di bidang
astronomi dan matematika, ada juga Maslamah al-Majrīṭī (w. 1007 M), Ibn
al-Samḥ, dan Ibn al-Ṣaffār. Ibn Abī al-Rijāl (Abenragel) di bidang
astrologi.
Dalam bidang kedokteran ada Abū Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī
atau Rhazes (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M) , Ibn Sīnā atau
Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M), Abū
al-Qāsim al-Zahrāwī (Abulcasis), dan Ibn Ẓuhr atau Avenzoar (w. 1161 M).
Al-Ḥāwī karya al-Rāzī merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh
perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. Untuk setiap penyakit dia
menyertakan pandangan-pandangan dari para pengarang Yunani, Syiria,
India, Persia, dan Arab, dan kemudian menambah catatan hasil observasi
klinisnya sendiri dan menyatakan pendapat finalnya. Buku Canon of
Medicine karya Ibnu Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada
abad ke-12 M dan terus mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa
setidak-setidaknya sampai akhir abad ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abū
al-Qāsim al-Zahrāwī tentang pembedahan (operasi) dan alat-alatnya
merupakan sumbangan yang berharga dalam bidang kedokteran.
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī
(362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan
metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya.
Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang
belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari
beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.
Dalam bidang botani, zoologi, mineralogi, karya orang Arab mencakup
gambaran dan daftar berbagai macam tanaman, binatang, dan batuan.
Beberapa di antaranya memiliki kegunaan praktis, yakni ketika karya
tersebut dihubungkan dengan bidang farmakologi dan perawatan medis.
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga
menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M),
Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī (w. 1111 M), Ibn Bājah
atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn
Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī
berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun
fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit,
yang sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh
al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains
Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia
tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan
asing. Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat
Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah
berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa
sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada
sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang
keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para
pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di
Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang
Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka
yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya
zaman pencerahan atau renaisans.
Ilmu Pengetahuan Zaman Renaisans dan Modern
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang pertama yang menggunakan
istilah renaisans. Para sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini
untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di
Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16.
Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan,
zaman renaisans, dan zaman modern. Bisa dikatakan abad pertengahan
berakhir tatkala datangnya zaman renaisans. Sebagian orang menganggap
bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans. Renaisans
adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau
sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan
era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung
arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme,
individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme. Sains
berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara Kristen
semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.
Tokoh penemu di bidang sains pada masa renaisans (abad 15-16 M):
Nicolaus Copernicus (1473-1543 M), Johanes Kepler (1571-1630 M), Galileo
Galilei (1564-1643 M), dan Francis Bacon (1561-1626 M). Copernicus
menemukan teori heliosentrisme, yaitu matahari adalah pusat jagad raya,
bukan bumi sebagaimana teori geosentrisme yang dikemukakan oleh
Ptolomeus (127-151). Menurutnya, bumi memiliki dua macam gerak, yaitu
perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi
matahari. Teori ini melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta,
terutama astronomi. Kepler adalah ahli astronomi Jerman yang
terpengaruh ajaran Copernicus. Dialah yang menemukan bahwa orbit planet
berbentuk elips; bahwa planet bergerak cepat bila berada di dekat
matahari dan lambat bila jauh darinya. Galileo adalah ahli astronomi
Italia yang melakukan pengamatan teleskopik dan mengukuhkan gagasan
Copernicus bahwa tata surya berpusat pada matahari. Inkuisi takut akan
penemuannya dan memaksanya meninggalkan studi astronominya. Dia juga
berjasa dalam menetapkan hukum lintasan peluru, gerak, dan percepatan.
Dialah penemu planet Jupiter yang dikelilingi oleh empat buah bulan.
Selanjutnya tokoh penemu di bidang sains pada zaman modern (abad
17-19 M): Sir Isaac Newton (1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph
Black (1728-1799 M), Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent
Lavoiser (1743-1794 M), dan J.J. Thompson. Newton adalah penemu teori
gravitasi, perhitungan calculus, dan optika yang mendasari ilmu alam.
Pada masa Newton, ilmu yang berkembang adalah matematika, fisika, dan
astronomi. Pada periode selanjutnya ilmu kimia menjadi kajian yang amat
menarik. Black adalah pelopor dalam pemeriksaan kualitatif dan penemu
gas CO2. Prestley menemukan sembilan macam hawa No dan oksigen yang
antara lain dapat dihasilkan oleh tanaman. Lavoiser adalah peletak dasar
ilmu kimia sebagaimana kita kenal sekarang. J.J. Thompson menemukan
elektron. Dengan penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan bahwa atom
adalah bahan terkecil dan mulailah ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika
yaitu fisika nuklir. Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan
ilmu seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara
pada abad ke-19 lahirlah pharmakologi, geofisika, geomophologi,
palaentologi, arkeologi, dan sosiologi. Pada tahap selanjutnya,
ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu zaman kontemporer.
Ilmu Pengetahuan Zaman Kontemporer
Perbedaan antara zaman modern dengan zaman kontemporer yaitu zaman
modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad
ke-15, sedangkan zaman kontemporer adalah era perkembangan terakhir yang
terjadi hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman ini meliputi hampir
seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan politik serta ilmu-ilmu
eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi serta aplikasi-aplikasinya di
bidang teknologi rekayasa genetika, informasi, dan komunikasi. Zaman
kontemporer identik dengan rekonstruksi, dekonstruksi, dan
inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang.
Sasaran rekonstruksi dan dekonstruksi biasanya teori-teori ilmu
sosial, eksakta, dan filsafat yang ada sudah ada sebelumnya, sementara
inovasi-inovasi teknologi semakin hari semakin cepat seperti yang kita
saksikan dan nikmati sekarang ini. Teknologi merupakan buah dari
perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke
generasi. Komputer merupakan hasil pengembangan dari perkembangan
listrik (elektronika) yang pada awal penemuannya oleh Faraday belum
diketahui kegunaannya. Penemuan bola lampu oleh Edison disusul oleh
penemuan radio, televisi, dan komputer.[35] Dari komputer berkembang ke
PC (private computer), lap top, dan terakhir simuter yaitu komputer
jenis PDA (personal digital assistans).[36] Semua contoh ini merupakan
bukti bahwa penemuan teknologi sebagai buah perkembangan ilmu masih
berkaitan dengan penemuan-penemuan sebelumnya yang kemudian dikembangkan
dengan ukuran fisik yang semakin kecil, tetapi memiliki beragam
keunggulan yang lebih besar.
Salah satu hasil teknologi yang menakjubkan dan kontroversial adalah
teknologi rekayasa genetika yang berupa teknologi kloning. Dr. Gurdon
dari Universitas Cambridge adalah orang pertama yang melakukan teknologi
ini pada tahun 1961. Gurdon berhasil memanipulasi telur-telur katak
sehingga tumbuh menjadi kecebong kloning. Pada tahun 1993, Dr. Jerry
Hall berhasil mengkloning embrio manusia dengan teknik pembelahan. Pada
tahun 1997, Dr. Ian Wilmut berhasil melakukan kloning mamalia pertama
dengan kelahiran domba yang diberi nama Dolly. Pada tahun yang sama
lahir lembu kloning pertama yang diberi mana Gene. Pada tahun 1998, para
peneliti di Universitas Hawai yang dipimpin oleh Dr. Teruhiko Wakayama
berhasil melakukan kloning terhadap tikus hingga lebih dari lima
generasi. Pada tahun 2000, Prof. Gerald Schatten berhasil membuat kera
kloning yang diberi nama Tetra. Setelah berbagai keberhasilan teknik
kloning yang pernah dilakukan, para ahli malah lebih berencana
menerapkan teknik kloning pada manusia.[37]
Setelah uraian-uraian di atas, selanjutnya kita lihat tabel
klasifikasi perkembangan sebagian ilmu pengetahuan dari masa ke masa
berdasarkan periodenya sebagai berikut[38]:
ILMU-ILMU
2000 SM-300 M
300 M-1400 M
1400 M-1600 M
Abad ke-17
Abad ke-18
Abad ke-19
Abad ke-20
MATEMATIKA
Ilmu Hitung
Geometri
Logika
Teori Bilangan Aljabar
Geometri Analitik
Trigonometri
Probabilitas dan Statistika
Persamaan Diferensial
Kalkulus
Geometri Analistis
Topologi
Teori Informasi
Teori Fungsi
Geometri Non-Euclid
Logika Matematik
FISIKA
Mekanika
Optika
Termodinamika Keelektrikan dan Kemagnetan
Kristalogi
Cryogenik
Mekanika Statistika
Mekanika Kwantum
Fisika Partikel
Fisika Nuklir
Fisika Plasma
Fisika Atom
Fisika Molekul
Fisika Zadat
Fisika Relativitas
KIMIA
Alkimia
Kimia Aroganik
Kimia Kedokteran
Kimia Analistis
Pharmakologi
Biokimia
Kimia Organik
Fisika Kwantum
Kimia Fisika
Kimia Nuklir
Kimia Polimer
ASTRONOMI
Kosmologi
Astronomi Posisionil
Mekanika Benda Langit
Astronomi Fisika
Astronautika
Radio Astronomi
Astrofisika
GEOLOGI
Eksplorasi
Geodesi
Mineralogi
Meteorologi
Geofisika
Statigrafi
Sejarah Geologi
Paleontologi
Mineralogi
Petrologi
Geormorphologi
Geografi Fisika/Fisis
Srtuktur Geologi
Geokimia
Hidrologi
Oceanografi
BIOLOGI
Ilmu Obat-obatan
Phisiologi
Anatomi
Botani dan Zoologi
Embriologi
Pathologi
Mikrobiologi
Taksonomi
Biofisika
Anatomi Perbandingan
Citologi
Histologi
Biokimia
Ekologi
Radiobiologi
Biologi Molekul
Genetika
SOSIAL
Pemerintahan
Sejarah
Filsafat
Politik
Ekonomi
Arkeologi
Antropologi Fisik
Sosiologi
Antropologi Budaya
Psikologi
Penutup
Tabel di atas belum mencakup semua ilmu pengetahuan, karena menurut
Jujun Suriasumantri, ilmu pengetahuan dewasa ini telah berkembang
menjadi sekitar 650 cabang. Di samping sudah ada pemberdayaan antara
ilmu-ilmu alam atau natural science dengan ilmu-ilmu sosial, dikenal
pula dengan pembedaan ilmu dan ilmu terapan. Pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan, menurut Chalmers, diperkirakan sejak 400 tahun yang lalu,
yaitu sejak Copernicus, Galileo, Kepler, dan yang lebih jelas lagi sejak
Francis Bacon pada abad ke-15 dan 16 sebagai ahli filsafat ilmu yang
mengemukakan perlunya suatu metode dalam mempelajari pengalaman. Bacon
menekankan bahwa eksperimen dan observasi yang intensif merupakan
landasan perkembangan ilmu.[39]
Fakta-fakta di atas menunukkan bahwa perkembangan ilmu tidak bisa
dilepaskan dari rasa keingintahuan yang besar diiringi dengan
usaha-usaha yang sungguh-sungguh melalui penalaran, percobaan,
penyempurnaan, dan berani mengambil resiko tinggi sehingga menghasilkan
penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi suatu generasi dan menjadi acuan
pertimbangan bagi generasi selanjutnya untuk mengoreksi, menyempurnakan,
mengembangkan, dan menemukan penemuan selanjutnya. Faktor-faktor inilah
yang kemudian menjadi pemacu bagi pesatnya perkembangan ilmu yang
melatarbelakangi semakin cepatnya penemuan dalam bidang teknologi yang
kadang membuat sebagian orang terlena karenanya sehingga tidak sadar
bahwa sebagian ilmu yang disalahgunakan bisa menjadi ancaman serius bagi
kehidupan mereka.
Poin penting yang perlu dicatat di sini adalah pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan harus diimbangi dengan pengembangan moral-spiritual
manusianya, karena sebagaimana kita tahu, perkembangan ilmu pengetahuan
selain berdampak positif, ia juga berdampak negatif bagi kehidupan
manusia. Dampak positifnya adalah semakin mempermudah kehidupan manusia,
sementara dampak negatifnya adalah semakin mengancam kehidupan mereka.
Oleh karena itu, agar tatanan kehidupan manusia di dunia ini tetap
lestari, maka perkembangan ilmu mesti diiringi dengan pengembangan
moral-spiritual manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu tanpa
pengembangan moral-spiritual bisa menjadi ancaman bagi kehidupan manusia
seperti yang bisa kita rasakan akhir-akhir ini yang berupa
penyalahgunaan teknologi nuklir. Demikian pula pengembangan
moral-spiritual tanpa diiringi perkembangan ilmu bisa menjadikan
sebagian manusia kurang kreatif seperti yang terjadi pada orang Kristen
pada zaman kegelapan Eropa. Dengan kata lain, antara otak dan hati harus
mendapatkan porsi perhatian yang seimbang. Sejarah sudah
membuktikannya. Sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki validitas
kebenaran yang tinggi sehingga layak dijadikan bahan untuk mengambil
pelajaran (‘ibrah). []
Footnote
[1]Gordon Childe, What Happened in History (Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975), 13.
[2]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 16-17.
[3]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 35-39.
[4]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 21-129.
[5]George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif:
Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S.
Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1991), 87.
[6]Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Andi Offset Yogya, 2007), 117.
[7]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996), 1.
[8]George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, 87.
[9]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 1.
[10]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan
Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), 6.
[11]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 21-23.
[12]Ibid., 23-27. Lihat juga: Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan
Hati Sejak Thales Sampai Chapra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
48-49.
[13]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 27-28.
[14]Ibid., 29-31.
[15]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 257.
[16]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 43.
[17]Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), 7.
[18]W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam
atas Eropa Abad Pertengahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997),
44-45.
[19]Ibid., 47-50.
[20]Ibid., 51-52.
[21]Pembahasan lebih detil tentang sosok, karya, dan pengaruh Abū
Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī bisa dibaca dalam: Lenn E. Goodman,
“Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung:
Mizan, 2003), 243-265.
[22]W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, 52-56.
[23]Ibid., 57-58.
[24]Ibid., 58.
[25]Ibid., 60-61.
[26]Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman
(Bandung: Mizan, 2003), 209-210.
[27]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang, 567.
[28]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra, 125-126 dan Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 49-50.
[29]Ibid., 126.
[30]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 51-52.
[31]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, 58.
[32]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 55.
[33]Ibid., 57-62.
[34]Ibid., 68-71.
[35]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, 202.
[36]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 79.
[37]Ibid., 76-77.
[38]Henry Margenau dan David Bergamini, The Scientist (New York: Time
Inc., 1964), 86-99, yang diolah oleh Jujun Suriasumatri, “Tentang
Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Ilmu dalam Perspektif:
Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S.
Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1991), 14-15.
[39]Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, 120.
Bibliografi
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Childe, Gordon. What Happened in History. Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975.
E. Goodman, “Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman. Bandung: Mizan, 2003.
Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. Bandung:
Mizan, 2003.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
Jasin, Maskoeri. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif:
Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S.
Suriasumantri. Jakarta: Gramedia, 1991.
O. Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998.
Russell, Betrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Soetriono. dan SDRm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset Yogya, 2007.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Watt, W. Montgomery. Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas
Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.
0 komentar:
Posting Komentar